barang
temuan / al-Luqathah
BARANG TEMUAN
A.
Pengertian
Barang
temuan dalam bahasa arab disebut dengan al-Luqathah, menurut bahasanaya berarti
“sesuatu yang ditemukan atau di dapat”. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud
dengan al-luqathah ialah memperoleh sesuatu yang tersia-siakan dan tidak
diketahui pemiliknya.
B.
Hukum
pengambilan barang temuan
Hukum pengambilan barang temuan
dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya,
hukum pengambilan barang temuan antara lain sebagai berikut:
1. Wajib, yakni wajib mengambil barang
temuan bagi penemunya, apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia
mampu mengurus benda-benda temuannya itu dengan sebagaimana mestinya dan
terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia
atau diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
2. Sunnat, yakni sunnat mengambil
benda-benda temuan bagi penemunya, apabila penemu percaya pada dirinya bahwa ia
akan mampu memelihara benda-benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya tetapi
bila tidak diambilpun barang-barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang
sia-sia atau tidak akan diambil oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
3. Makruh, bagi seseorang yang
menemukan harta, kemudian masih ragu-ragu apakah dia akan mampu memelihara
benda-benda tersebut atau tidak dan bila tidak diambil benda tersebut tidak
dikhawatirkan akan terbengkalai, maka bagi orang tersebut makruh untuk
mengambil benda-benda tersebut.
4. Haram, bagi orang yan menemukan
suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit
tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak mampu memelihara harta tersebut
dengan sebagaimana mestinya, maka dia haram untuk mengambil benda-benda tersebut.
C.
Rukun
Luqotoh
Rukun-rukun dalam Luqtoh ada dua, yaitu:
1.
Orang yang mengambil (yang
menemukan)
D. Macam-macam Benda Temuan
Terdapat macam-macam benda temuan
yaitu:
1. Benda-benda tahan lama, yaitu benda-benda yang dapat
disimpan dalam waktu yang lama, umpamanya mas, perak, pisau, gergaji dan yang
lainnya.
2. Benda-benda yang tidak tahan lama, umpanya makanan, tepung,
buah-buahan dan sebagainya. Benda-benda seperti ini boleh dimakan atau dijual
supaya tidak tersia-siakan, bila kemudian baru datang pemiliknya, maka wajib
mengembalikannya atau uang seharga benda-benda yang dijual atau dimakan.
3. Benda-benda yang memerlukan perawatan, seperti padi harus
dikeringkan atau kulit hewan perlu disamak.
4. Benda-benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang
ternak unta, sapi, kuda, kambing dan ayam. Pada hakikatnya binatang-binatang
itu tidak dinamakan al-Luqathah tetapi disebut al-Dhalalah, yakni
binatang-binatang yang tersesat atau kesasar.
Adapun binatang-binatang yang
ditemukan oleh seseorang secara umum dapat dibagi dua, yaitu:
a) Binatang yang kuat, yakni
binatang-binatang yang mampu menjaga dirinya dari serangan binatang buas,
umpamanya unta, kerbau dan kuda, baik menjaga dirinya dengan cara melawan
ataupun lari, binatang yang mampu menjaga dirinya boleh diambil hanya untuk
dijaga saja, kemudian diserahkan kepada penguasa, maka lepaslah tanggungan
pengambil.
b) Binatang-binatang yang tidak dapat
menjaga dirinya dari serangan-serangan binatang buas, baik karena tidak mampu
melawan maupun karena tidak dapat menghindari, seperti anak kambing dan anak
sapi, binatang-binatang ini boleh diambil untuk dimiliki, baik untuk
dipelihara, disembelih maupun untuk dijual, bila datang pemilik untuk
memintanya, maka wajib dikembalikan hewannya atau harganya.
E.
Menyikapi
Barang Temuan (LUQATHAH)
Apabila kita secara tidak sengaja menemukan uang tergeletak
di jalan, maka kewajiban kita adalah mengumumkan temuan itu agar pemiliknya
yang merasa kehilangan bisa mendapatkan haknya kembali. Dalam bahasa fiqih,
kasus yang terjadi pada anda itu disebut sebagai barang LUQATHAH, atau barang
temuan. Dan untuk itu ada aturan hukum tersendiri yang telah ditetapkan dalam
syariah. Luqathah atau barang temuan adalah harta yang hilang dari pemiliknya
dan ditemukan oleh orang lain. Bila seseorang menemukan harta yang hilang dari
pemiliknya, para ulama berbeda pendapat tentang tindakan/sikap yang harus
dilakukan. Bila Menemukan Barang Hilang, Apa Yang Harus Dilakukan?
1. Al-Hanafiyah mengatakan disunnahkan untuk menyimpannya
barang itu bila barang itu diyakini akan aman bila ditangan anda untuk nantinya
diserahkan kepada pemiliknya. Tapi bila tidak akan aman, maka sebaiknya tidak
diambil. Sedangkan bila mengambilnya dengan niat untuk dimiliki sendiri, maka
hukumnya haram.
2. Al-Malikiyahmengatakan bila seseorang tahu bahwa dirinya
suka berkhianat atas hata oang yang ada padanya, maka haram baginya untuk
menyimpannya.
3. Asy-Syafi`iyyah berkata bahwa bila dirinya adalah orang
yang amanah, maka disunnahkan untuk menyimpannya untuk dikembalikan kepada
pemiliknya. Karena dengan menyimpannya berarti ikut menjaganya dari kehilangan.
4. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ra. mengatakan
bahwa yang utama adalah meninggalkan harta itu dan tidak menyimpannya.
Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang / Harta Yang Hilang.
Islam mewajibkan bagi orang yang menemukan barang hilang untuk mengumumkannya
kepada khalayak ramai. Dan masa penngumuman itu berlaku selama satu tahun. Hal
itu berdasarkan perintah Rasulullah SAW ”Umumkanlah selama masa waktu
setahun.” Pengumuman itu di masa Rasulullah SAW dilakukan di pintu-pintu
masjid dan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang seperti pasar, tempat resepsi
dan sebagainya. Bila Tidak Ada Yang Mengakui?
Bila telah lewat masa waktu setahun tapi tidak ada yang
datang mengakuinya, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan
bolehlah bagi penemu untuk memiliki harta itu bila memang telah berusaha mengumumkan
barang temuan itu selama setahun lamanya dan tidak ada seorangpun yang
mengakuinya. Hal ini berlaku umum, baik penemu itu miskin ataupun kaya.
Pendapat ini didukung oleh Imam Malik ra. Imam Asy-Syafi`i ra. dan Imam Ahmad
bin Hanbal ra. Sedangkan Imam Abu Hanifah ra. mengatakan hanya boleh dilakukan
bila penemunya orang miskin dan sangat membutuhkan saja. Tapi bila suatu saat
pemiliknya datang dan telah cocok bukti-bukti kepemilikannya, maka barang itu
harus dikembalikan kepada pemilik aslinya. Bila harta temuan itu telah habis,
maka dia wajib menggantinya.
F.
Kewajiban
Orang Yang Menemukan Barang Temuan
Orang yang menemukan barang wajib mengenal ciri-cirinya dan
jumlahnya kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, lalu ia menjaganya dan
mengumumkan kepada khalayak selama setahun. Jika pemiliknya mengumumkan di
berbagai media beserta ciri-cirinya, maka pihak penemu (harus) mengembalikannya
kepada pemiliknya, meski sudah lewat setahun. Jika tidak, maka boleh
dimanfa’atkan oleh penemu.
Dari Suwaid bin Ghaflah, ia bercerita : Saya pernah berjumpa
Ubay bin Ka’ab, ia berkata, Saya pernah menemukan sebuah kantong berisi
(uang) seratus Dinar, kemudian saya datang kepada Nabi saw (menyampaikan
penemuan ini), kemudian Beliau bersabda, “Umumkan selama setahun”. Lalu
saya umumkan ia, ternyata saya tidak mendapati orang yang mengenal kantong ini.
Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau
bersabda, “Umumkanlah ia selama setahun”. Kemudian saya umumkan ia selama
setahun, namun saya tidak menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang (lagi)
kepada Beliau untuk ketiga kalinya, lantas Beliau bersabda, “Jaga dan
simpanlah isinya, jumlahnya, dan talinya. Jika suatu saat pemiliknya datang
(menanyakannya), (maka serahkanlah). Jika tidak, boleh kau manfaatkan”.
Kemudian saya manfa’atkan. Lalu saya (Suwaid) berjumpa (lagi) dengan Ubay di
Mekkah, maka ia berkata, “Saya tidak tahu, (beliau suruh menjaganya
selama) tiga tahun atau satu tahun.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 78 no:
2426, Muslim III: 135 no: 1723, Tirmidzi II: 414 no: 1386, Ibnu Majah II: 837
no: 2506 dan ‘Aunul Ma’bud V: 118 no: 1685).
Dari ‘Iyadh bin Hammar ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Barangsiapa mendapatkan barang temuan, maka hendaklah
persaksikan kepada seorang atau dua orang yang adil, kemudian janganlah ia
mengubahnya dan jangan (pula) menyembunyikan(nya). Jika pemiliknya datang
(kepadanya), maka dialah yang lebih berhak memilikinya. Jika tidak, maka barang
temuan itu adalah harta Allah yang Dia berikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”
a) Dhallah Berupa Kambing Dan Unta
Barangsiapa mendapatkan dhallah (barang
temuan) berupa kambing, maka hendaklah diamankan dan diumumkan, manakala
diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan kambing termaksud kepadanya.
Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya. Dan, siapa saja yang
menemukan dhallah berupa unta, maka tidak halal baginya untuk
mengambilnya, karena tidak dikhawatirkannya (tersesat).
Dari Zaid bin Khalid al-Juhanni ra, ia bercerita: Ada orang
Arab badwi datang menemui Nabi saw, lalu bertanya kepadanya tentang barang
temuannya. Maka beliau menjawab, “Umumkanlah ia selama setahun, lalu
perhatikanlah bejana yang ada padanya dan tali pengikatnya. Kemudian jika
datang (kepadamu) seorang yang mengabarkan kepadamu tentang barang tersebut,
(maka serahkanlah ia kepadanya). Dan, jika tidak, maka hendaklah kamu
memanfaatkan ia.” Ia bertanya, “Ya Rasulullah, lalu (bagaimana)
barang temuan berupa kambing?” Maka jawab Beliau, “Untukmu, atau untuk
saudaramu, atau untuk serigala.” Ia bertanya (lagi), ”Bagaimana tentang
barang temua berupa unta?” Maka raut wajah Nabi saw berubah, lalu Rasulullah
bersabda, “Mengapa kamu menanyakan unta? Ada bersamanya terompahnya dan
memiliki perut, ia mendatangi air dan memakan rerumputan.
b)
Hukum (Barang Temuan) Berupa Makanan
Dan Barang Yang Sepele
Barangsiapa yang mendapatkan makanan di tengah jalan, maka
boleh dimakan, dan barangsiapa menemukan sesuatu yang sepele yang tidak
berkaitan erat dengan jiwa orang lain, maka boleh dipungut dan halal
dimilikinya.
Dari Anas ra ia berkata: Nabi saw pernah melewati sebiji
tamar di (tengah) jalan, lalu beliau bersabda, “Kalaulah sekiranya aku
tidak khawatirkan sebiji tamar itu termasuk tamar shadaqah, niscaya aku
memakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 86 no: 2431, Muslim II:
752 no: 1071 dan ’Aunal Ma’bud V: 70 no: 1636.
c)
(Barang Temuan) Di Kawasan Tanah
Haram
Adapun luqathah (barang temuan) di daerah tanah
haram, maka tidak boleh dipungutnya kecuali dengan maksud hendak diumumkan kepada
khalayak hingga diketahui siapa pemiliknya. Dan, tidak boleh memilikinya
meskipun sudah melewati setahun lamanya mengumumkannya, tidak
sepertiluqathah di daerah lainnya; berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Mekkah, yaitu tidak halal
bagi seorang pun sebelumku dan tidak halal (pula) bagi seorang pun
sepeninggalku; dan sesungguhnya dihalalkan untukku hanya sesaat di siang hari.
Tidak boleh dicabut rumputnya, tidak boleh dipotong pohonnya, tidak boleh
membuat lari binatang buruannya, dan tidak boleh (pula) mengamankan barang
temuannya kecuali untuk seorang yang akan mengumumkan.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 1751, Irwa-ul Ghalil no: 1057 dan Fathul Bari IV: 46 no:
1833).
G.
Bayi
Yang Ditemukan (Laqith)
1.
Pengertian, Laqith adalah anak kecil yang belum
baligh yang didapati di jalan, atau yang tersesat di jalan, atau yang tidak
diketahui nasabnya.
2.
Hukum Menemukan Laqith
Memungut
laqith hukumnya adalah fardhu kifayah, berdasar firman Allah swt:
“Dan bertolong-tolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan.” (QS al-Maidah: 2)
“Dan bertolong-tolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan.” (QS al-Maidah: 2)
3.
Keislaman Laqith Serta biaya
Hidupnya
Apabila Laqith ditemukan di negeri Islam,
maka dianggap sebagai orang muslim, dan dihukumi sebagai orang yang merdeka di
mana pun ia ditemukan, karena pada asalnya anak cucu Adam adalah merdeka. Jika
ia disertai dengan harta, maka biaya hidupnya diambilkan darinya. Jika tidak,
maka biaya penghidupannya diambil dari baitul mal (kas negara):
Dari
Sunain Abi Jamilah, seorang laki-laki dari Bani Sulaim berkata: Saya pernah
mendapatkan anak kecil tersesat lalu saya bawa Umar bin Khatthab. Kemudian
Uraifi berkata, ”Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya ia adalah seorang laki-laki
yang shalih.” Lantas Umar bertanya, ”Apakah ia memang begitu?” Jawab Uraifi,
”Ia betul.” Kemudian Umar berkata, ”(Wahai Salim), bawalah ia pergi, dan ia
sebagai orang merdeka, dan ia harus berwali kepadamu, sedangkan biaya hidupnya
tanggungan kami.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1573, Muwathta’ Imam Malik hal.
524 no: 1415 dan Baihaqi VI: 201).
4.
Pihak Yang Berhak Menjadi Ahli Waris
Laqith
Apabila laqith meninggal dunia dan ia
meninggalkan harta warisan, namun tidak meninggalkan ahli waris, maka harta
warisannya menjadi hak milik baitul mal, demikian pula diyatnya bila ia
dibunuh.
5.
Pengakuan Senasab Dengan Laqith
![]() |
Dari Aisyah ra, katanya: Nabi saw pernah masuk (ke rumah)
menemuiku dalam keadaan riang gembira, lalu bersabda, “Tidaklah engkau
tahu bahwa Mujazar al-Madlaji tadi melihat Zaid dan Usamah, dan keduanya telah
menutup kepalanya sementara kaki mereka terbuka.” Lalu ia berkata,“Sesungguhnya
empat kaki ini, sebagiannya berasal dari sebagian yang lainnya (memiliki
kemiripan dengan sebagian yang lain).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari
XII: 56 no: 6771, Muslim II: 1081 no: 1459, ‘Aunul Ma’bud VI: 357 no: 2250,
Tirmidzi III: 293 no: 2212 dan Nasa’i VI: 184).
Jika ternyata ahli penyelidik nasab berpendapat, bahwa laqith tersebut
adalah memiliki hubungan nasab dengan kedua orang yang mengaku mempunyai
hubungan nasab dengannya, maka harus dihubungkan dengan keduanya:
Dari Sulaiman bin Yasar, dari Umar tentang seorang perempuan
yang digauli oleh dua orang laki-laki ketika dalam keadaan suci, maka sang ahli
penyelidik nasab berkata, “Dalam hal anak kecil ini kedua laki-laki itu
bersekutu.” Kemudian Umar menjadikan (nasabnya) di antara mereka berdua.
(Shahih: Irwa-ul Ghalil 1578 dan Baihaqi X: 263).
Sumber :
· Hendi Suhendi, Fikih Muamalah (Jakarta : Raja Gravindo,
2010)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar